Sabtu, 14 Mei 2011

Topik1kontrak karya migas
-         Sesudah UU no. 22/2001 dan PP no.42/2002 , Pemerintah/ BP Migas mengambil peran sebagai pengelola perminyakan hulu nasional , yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina (BPPKA/MPS).
-         11 kontrak karya kerja sama (KKKS) dengan kerugian 18,067 triliun untuk 152 kerja sama di tahun 2002-2005
-         Selain itu, Komisi juga menemukan kebijakan yang tidak sesuai yaitu soal Investment Credit. Menurut Haryono, batas maksimal Investment Credit hanya 20 persen. "Tapi ada yang melebihi sampai 150 persen," jelasnya saat itu.
 Terkait aset, Komisi menemukan aset senilai Rp 225 triliun tidak ada kejelasannya. "BP migas kemarin bilangnya Rp 25 triliun," jelas Haryono. Namun, komisi juga mendapat informasi nilainya jauh lebih rendah daripada itu.
-         Auditor Utama Keuangan Negara VII BPK menyatakan
-         KKKS itu mekanismenya tidak jelas, kontraknya tidak beres, dan membuat multitafsir
Topic 2hak recall
-         . Pada periode DPR 2004-2009, Djoko Edi Sucipto juga di-recall dari DPR oleh PAN karena studi banding tentang judi ke Mesir. Sekarang lili wahid dang us choi. Dan yang lagi hangat arifinto dari fraksi pks
-         Parpol yg melanggar hak konstitusional anggotanya akan dibubarkan dengan permohonan presiden ke mk
-         Uji materil Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil pasal 213 ayat (2) huruf e, dan huruf h Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 27 Tahun 2009), serta pasal 12 huruf g, huruf h Undang-Undang tentang Partai Politik (UU No 2 Tahun 2008), terhadap pasal 1 ayat (2), pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid. ditolak mk karena lili wahid dianggap terikat dengan ad dan art pkb sehingga harus mengikuti keinginan partai
-         Lili di ancam di recall jika membelot.
Topic 3 presidensial threshold
-         Pasal 64 ayat (2) UUD 1945 da UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres,
-         Demikian pula argumentasi bahwa presidensial threshold, dimaksudkan agar capres memang mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas.
“Pengalaman dari pilpres 2004, menunjukkan bahwa hasil pilpres tidak kompatibl dengan hasil pemilu legislatif dan jumlah perolehan suara partai atau gabungan parpol yang mengusung atau mengusulkannya
-         Pada Pemilu 2004, melalui UU 23 Tahun 2003, capres minimal diusulkan dengan dukungan tiga persen kursi di DPR atau lima persen suara sah nasional. Di Pemilu 2009 kemarin, syaratnya diperberat menjadi minimal dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara suara sah nasional.
Sebagaimana diketahui pula, alasan dinaikkannya syarat pengajuan capres di Pemilu 2009 kemarin karena adanya fakta pemerintahan bentukan Pemilu 2004 tidak berjalan efektif yang salah satu penyebabnya adalah syarat pencalonan terlalu rendah.
Topic 4 pemilihan gubernur oleh dprd
-         Dalam pasal 23 uu no 10 tahun 2008,jumlah kursi anggota dprd provinsi yang paling sedikit itu 35 kursi (penduduk 1 juta jiwa) dan paling banyak 100 kursi (penduduk 11 juta jiwa)
-         Penduduk provisi jambi 3.088.618 jiwa dengan kepadatan 17,13 % data tanggal 18 agustus 2010.
-         Pasala 23 ayat 2 ke c nya jambi dapat jatah 55 kursi
-         Yang menjadi pokok permasalahan adalah maslah dana yang keluar melalui pemilu langsung. Partai politik pasti enggan untuk membentuk uu yg mengurangi dana kampanye dan dana lin yang keluar.
-         Menurut ahli,idealnya demokrasi itu berjalan 15 tahun yaitu dengan pemilihan langsung. Kita termasuk Negara yg masih muda dalam berdemokrasi sesungguhnya.
-         Ketua kpu beralasan dukungannya terhadap pemilihan gubernur oleh dprd karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan bupati/walikota menjalankan otonomi daerah
-         Pasal 3 uu no 12 tahun 2005 terdapat dana belanja pegawai,belanja barang dan jasa,belanja operasi (mendanai kegiatan sehari-hari)dan belanja kontijensi( mendanai kekurangan bbiaya belanja keseluruhan)
-         Dana sosialisasi pemilihan sebesar 1000 rupiah setiap daftar pemilih tetap dalam bentuk publikasi media, komunikasi masa dan pembentukan tim penggerak pemilu (contoh di jabar)
-     Berdasarkan pasal 107 ayat 4 Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua, sehingga membuat pengeluaran semakin banyak. Dan apbd provinsi sudah dianggarkan untuk itu
-          
Topic 5 titik berat otonomi di tingkat provinsi
-         Pemerintah provinsi dianggap sebagai perwakilan pemerintah pusat semata sesuai dengan asas dekonsentrasi
 Pasal 13 uu no 32 tahun 2004 tentang pemda
Titik berat di provinsi akan memudahkan konsolidasi sumber daya lintas daerah kabupaten/kota, dan pengelolaannya bisa dioptimalkan. Selain itu, pelayanan pada kabupaten/ kota cepat terealisasi dan memudahkan komunikasi antara kabupaten/kota dan pemerintah pusat.
kita yang menilai otda di tingkat kabupeten/kota sudah tidak mencerminkan ide awal otda, dan akhirnya rakyat di kabupaten/kota tidak mengalami kemajuan seperti yang diinginkan dalam konsep awal.

Karena itulah usulan perubahan titik tumpu otda ini sangat penting dalam rangka pembahasan revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang akan dipecah menjadi UU Pemilu Kepala Daerah, UU Pemerintahan Desa, dan UU Pemda.

Banyak wacana dalam revisi UU 32/2004 ini, termasuk hubungan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota, juga tentang peraturan daerah.

Perlu dipertegas posisi perda provinsi dan perda kabupaten/kota. Kita ingin mengingatkan bahwa inti dari pelaksanaan otda sebenarnya adalah memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur wilayah dan pemerintahannya.

Dari sana kita berharap rentang kendali pemerintah untuk sampai pada rakyatnya tidak terlalu jauh atau, jika mungkin, dipercepat. Namun selama ini, yang terjadi, muncul perda-perda yang bermasalah, dan rakyat tidak menikmati otonomi tersebut.

Meski demikian, apabila revisi UU mendatang akhirnya mengubah bentuk otonomi dari kabupaten/kota ke provinsi, harus benar-benar dikaji dan dieliminasi berbagai kekurangan yang bakal timbul. Jangan sampai perubahan titik tumpu dari kabupaten/kota ke provinsi tidak membawa kemajuan berarti bagi rakyat. Soal yang tak kalah penting adalah implikasi terhadap pemilihan kepala daerah nanti.

Selama ini, baik di kabupaten/ kota maupun di provinsi, pilkada dilakukan secara langsung. Nah, jika otda sudah berubah ke provinsi, apakah mekanisme pilkada langsung tetap bisa jalan atau dipilih DPRD? Kita harapkan keuntungan dan kelemahannya dibahas secara detail. n

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
- 16 -
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
-         pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
-         Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
-         pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
-         meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
-         kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
-         Pasal 14
-         (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
-         kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
-         meliputi:
-         a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
-         b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
-         c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
-         d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
-         e. penanganan bidang kesehatan;
-         f. penyelenggaraan pendidikan;
-         g. penanggulangan masalah sosial;
-         h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
-         i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
-         j. pengendalian lingkungan hidup;
-         k. pelayanan pertanahan;
-         - 17 -
-         l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
-         l. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
-         m. pelayanan administrasi penanaman modal;
-         n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
-         a. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
-         perundang-undangan.
-         (2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
-         urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
-         meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
-         dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan
  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
  1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
  2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
  3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu
  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Referensi

  1. UUD 1945 pasal 18 ayat 2
  2. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
  3. Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  4. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
  5. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
  6. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
  7. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
  8. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
  9. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
  10. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
  11. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
  12. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
  13. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
  14. Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  15. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)

Topic 6 hak ulayat
Perpres no 36 thn 2005 tentanag pengadaan tanah bagi kepentingan umum bab2 pasal 2 ayat(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara:
a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau
b. pencabutan hak atas tanah.
(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
-         Dalam pasal 5 huruf r nya dibuat dibuat cagar alam dan budaya. Sehingga betuk ganti ruginya adalah pengadaan tanah,uang, atau pemukiman kembali.
-         Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
-         Yang bias dipakai adalah hutan cadangan yaitu utk pemukiman dan pertanian. hutan produksi seperti hutan budidaya,hutan rimba
-         93,92 juta hektar pada 2005 dengan Hutan lindung  : 22,10 juta ha
-         penambahan hutan primer seluas 19 juta ha dan penurunan luas hutan sekunder hingga mencapai 18,7 juta ha hingga 28,7 juta ha dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, patut diragukan.
-         Greenomics Indonesia mempertanyakan data hutan primer Indonesia seluas 64 juta hektare dan hutan sekunder seluas 20-30 juta ha versi staf khusus presiden bidang perubahan iklim.
-         Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang unik.[1]. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan.
Lawan katanya adalah hutan sekunder, yakni hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam. Hutan sekunder umumnya secara perlahan-lahan dapat pulih kembali menjadi hutan primer, yang tergantung pada kondisi lingkungannya, akan memakan waktu beberapa ratus hingga beberapa ribu tahun lamanya. Hutan kayu daun-lebar di Amerika Serikat bagian timur dapat pulih kembali menjadi hutan primer dalam satu atau dua generasi tumbuhan, atau antara 150-500 tahun
-         Setiap pemegang Hak Atas Tanah dan pengusahaan di perairan dalam wilayah sistim penangga kehidupan, wajib menjaga kelangsungan fungsi lindung wilayah tersebut (UU No. 5 tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistimnya)
-         Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 68 UU no 41 tahun 1999)A
Pasal 6.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7.
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
-         penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar